Rabu, 03 November 2010

makalah ekonomi pertanian

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap mahluk hidup di dunia ini membutuhkan pangan untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Ketahanan pangan bukan hanya masalah “cukup makan”. Lebih jauh dari itu, pemenuhan hak atas pangan dapat dipandang sebagai salah satu pilar utama hak azasi manusia. Dalam PP No 68 tahun 2002, tentang Ketahanan Pangan, dinyatakan bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia yang berkualitas, mandiri, dan sejahtera melalui perwujudan ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat (Tempo Interaktif 2004:1). Hal ini menjadi renungan kita bersama bahwa bagaimana mungkin bisa mencapai prestasi jikalau kebutuhan pangan saja belum terpenuhi?
Petani, sebagai insan yang berperan menghasilkan bahan pangan kondisinya sangat memperihatikan. Petani menghadapi banyak permasalahan dalam perannya menghasilkan bahan pangan. Permasalahan petani dan pertanian di Indonesia begitu kompleks baik secara makro maupun mikro. Secara makro masalah utama pertanian di Indonesia adalah (1) Marginalisasi pertanian,
dan (2) Exchange farmer, mayoritas umur petani saat ini 70 tahun dan yang berumur dibawah 30 tahun jumlahnya sedikit, kebanyakan generasi muda enggan menjadi petani.
Pada tingkat petani masalah petani juga semakin banyak. Masalah tersebut diantaranya:
rendahnya pengetahuan/wawasan, rendahnya tingkat keterampilan, kurangnya motivasi, tidak memiliki kemampuan pengelolaan usaha tani, kurangnya dukungan atas modal dan sarana produksi usahatani, kurangnya dukungan kebijakan pemerintah, jarang mendapatkan bimbingan dan conseling berupa penyuluhan dan tidak adanya wahana/tempat petani untuk belajar untuk meningkatkan kemapuan yang dibutuhkannya.
Menemukan atau merancang berbagai solusi alternatif untuk memecahkan masalah di atas memerlukan kemampuan, ketrampilan dan kreativitas pihak-pihak yang terlibat. Mereka harus bisa mengatasi kompleksitas permasalahan yang dihadapi dan merancang solusi-solusi
alternatif yang berkualitas dan dapat memecahkan masalah itu. Selain itu, solusi-solusi tersebut haruslah dapat diterima oleh berbagai pihak yang terkait.
B. Rumusan Masalah
Sebagai change agent, pekerja pembangunan atau profesional lainnya, kita sering
menghadapi situasi yang dihadapi petani yang membingungkan, yang menghadirkan ketidak-
pastian, dan menimbulkan kesulitan. Situasi itu membuat kita limbung, hilang keseimbangan dan
tidak berdaya.
Dalam keadaan itu, wajar bila kita ingin segera keluar dari situasi yang sulit itu. Kita ingin segera memulihkan kembali equilibrium atau keseimbangan mental yang sempat terganggu itu. Kita ingin kembali berdaya seperti semula. Namun demikian, tepatkah tindakan coba-coba (trial and error), yang biasanya langsung kita lakukan?
Dewey (dalam Amri Jahi), pakar “berpikir reflektif,” yang menemukan proses pemecahan masalah ini pada 1910, menyarankan: agar kita menunda dulu tindakan itu, apa lagi yang sifatnya masih coba-coba. Pikirkan dulu, definisikan dulu, apa yang menimbulkan kebingungan, ketidak pastian dan kesulitan yang merusak equilibrium kita tadi itu. Dengan kata lain, rumuskan dulu “apa masalah yang kita hadapi!”

Sebagai perbandingan, di negara maju petani dengan berbagai cara membuat wadah untuk memenuhi kepentingan bersama. Organisasi demikian memegang peranan penting dalam pembangunan pertanian di negara industri maju. Di negara berkembang belum ada organisasi
yang dengan efektif memperjuangkan hak-hak petani. Di masa yang akan datang, para penyuluh memegang peranan penting untuk membantu para petani menumbuhkan wadah-wadah untuk petani kembali belajar tentang berbagai hal yang berhubungan dengan usahataninya.
Berdasarkan uraian di atas maka dirumuskan masalah penulisan dalam literature studi ini sebagai berikut:
1. Apa masalah-masalah yang dihadapi petani dan level terjadinya masalah tersebut?, dan
2. Bagaimanakah cara menolong mereka agar bisa menolong dirinya keluar dari masalah yang dihadapinya?
BAB II
LANDASAN TEORI

Pembanguna Pertanian (A.T.Mosher) Ada 5 syarat pokok yg harus tersedia:
(1) Tersedia pasar untuk hasil usaha tani; implikasinya harus ada permin taan (pasar dlm negeri maupun ekspor), lembaga atau perusahaan pemasaran yg bekerja hrs efisien.
(2) Adanya teknologi yg selalu berubah; perlu teknologi shg produktivitas dapat meningkat dan menghemat inputà menggeser Kurva Produksi Total. Tekn baru hasil penelitian, hrs dicoba dilokasi petani (demplot dll).
(3)Tersedia bahan-bahan & alat-alat produksi secara lokal; artinya harus dekat dg petani sehingga saat petani membutuhkan input tsb ada dekat usahatani. Lima sifat input yg hrs ada (a) dpt digunakan secara tekhnis & efektif, (b) mutu dpt dipercaya, (c) harga murah, (d) tersedia setiap petani membutuhkan dn (e) penjualan hrs dlm ukuran yg sesuai keinginan petani
(4) Ada Perangsang produksi (insentif); artinya untuk meningkatkan produksi harus bersifat ekonomi : harga yg menguntungkan, pembagian hasil yg wajar & tersedia brg/jasa yg ingin dibeli petani dan kel (RTP)
(5) Adanya pengangkutan (transportasi); artinya sarana dn prasarana pengankut an hrs baik, shg biaya pengankutan dpt murah dn hasil ushtani dpt dijual kepsr.
Ke lima syarat pokok ini, menurut AT Mosher harus tersedia, shg Pemb Pert dapat terjadi
BAB III
PEMBAHASAN

Keadaan Petani yang Menghambat Pembangunan Pertanian
Kesejahteraan petani yang relatif rendah dan menurun saat ini akan sangat menentukan prospek ketahanan pangan. Kesejahteraan tersebut ditentukan oleh berbagai faktor dan keterbatasan, diantaranya yang utama menurut (Bayu Krisnamurthi 2008:1) adalah (a) Sebagian petani miskin karena memang tidak memiliki faktor produktif apapun kecuali tenaga kerjanya (they are poor becouse they are poor); (b) Luas lahan petani sempit dan mendapat tekanan untuk terus terkonversi; (c) Terbatasnya akses terhadap dukungan layanan pembiayaan; (d) Tidak adanya atau terbatasnya akses terhadap informasi dan teknologi yang lebih baik; (e) Infrastruktur produksi (air, listrik, jalan, telekomunikasi) yang tidak memadai (f) Struktur pasar yang tidak adil dan eksploitatif akibat posisi rebut-tawar (bargaining position) yang sangat lemah; dan (g) Ketidak-mampuan, kelemahan, atau ketidak-tahuan petani sendiri.
A. Pengetahuan
Sebagian petani tidak mempunyai pengetahuan serta wawasan yang memadai untuk dapat memahami permasalahan mereka, memikirkan pemecahannya, atau memilih pemecahan masalah yang paling tepat untuk mencapai tujuan mereka. Tugas agen penyuluh adalah meniadakan hambatan tersebut dengan cara menyediakan informasi dan memberikan pandangan mengenai masalah yang dihadapi. Di sisi lain, petani sebenarnya memiliki pengetahuan berupa kearifan lokal yang bisa diwariskan kepada generasi berikutnya. Agen penyuluh dapat memberikan bantuan berupa pemberian informasi yang memadai yang bersifat teknis mengenai masalah yang dibutuhkan petani dan menunjukkan cara penanggulanganya. Selama penyuluh belum mampu memberikan informasi yang dibutuhkan petani tersebut, maka kegiatan penyuluhan tidak akan
berjalan dengan baik (Sabetghadam 2003:1)



B. Motivasi
Motivasi berasal dari kata motive dan action, artinya bagaimana membuat orang untuk berusaha. Sebagian besar petani kurang memiliki motivasi untuk mengubah perilaku karena perubahan yang diharapkan berbenturan dengan motivasi yang lain. Kadang-kadang penyuluhan dapat Beberapa organisasi penyuluhan bertanggung jawab untuk meniadakan hambatan yang disebabkan oleh kekurangan sumber daya. Kegiatan penyuluhan di Indonesia biasanya berada dibawah Departemen Pertanian seringkali diberikan tanggung jawab untuk mengawasi kredit dan mendistribusikan sarana produksi seperti pupuk. Masalahnya sekarang adalah organisasi yang menyediakan sumber daya tersebut tidak terlibat melainkan dilakukan oleh penyuluh. Seharunsya kegiatan pelayanan dilakukan oleh lembaga service, kegiatan pengaturan dilakukan oleh lembaga regulation dan kegiatan penyuluhan hanya dilakukan oleh lembaga penyuluhan. Apabila ketiga lembaga ini dapat berfungsi dengan baik maka kegiatan pembangunan pertanian
juga akan berjalan dengan baik.
mengatasi hal demikian dengan membantu petani mempertimbangkan kembali motivasi mereka. Petani kurang dimotivasi berusaha untuk merubah cara-cara tradisional kearah modernisasi. Atau sifat pertanian yang subsisten kurang diarahkan untuk berorientasi pada pasar. Selama petani belum dimotivasi, maka akan menjadi masalah (Heryanti Suryantini 2003:36).
C. Sumber daya
Beberapa organisasi penyuluhan bertanggung jawab untuk meniadakan hambatan yang disebabkan oleh kekurangan sumber daya. Kegiatan penyuluhan di Indonesia biasanya berada di bawah Departemen Pertanian seringkali diberikan tanggung jawab untuk mengawasi kredit dan mendistribusikan sarana produksi seperti pupuk. Masalahnya sekarang adalah organisasi yang menyediakan sumber daya tersebut tidak terlibat melainkan dilakukan oleh penyuluh. Seharunsya kegiatan pelayanan dilakukan oleh lembaga service, kegiatan pengaturan dilakukan
oleh lembaga regulation dan kegiatan penyuluhan hanya dilakukan oleh lembaga penyuluhan. Apabila ketiga lembaga ini dapat berfungsi dengan baik maka kegiatan pembangunan pertanian juga akan berjalan dengan baik.


D. Wawasan
Sebagian petani kurang memiliki wawasan untuk memperoleh sumber daya yang diperlukan. Masalah ini hampir sama dengan hambatan pengetahuan, dan peranan penyuluhansangat diperlukan pada keadaan seperti ini. SDM petani harus menyadari bahwa setiap anggota masyarakat akan memiliki kesempatan yang sama untuk berprestasi, saling menghargai satu sama lain, saling mengakui hak dan kewajiban, lebih mengedepankan prestasi ketimbang prestige, bertanggung jawab atas kelangsungan hidupnya dan mementingkan aspek-aspek kehidupan bersama (Soedijanto 2005:91). Tugas penyuluh adalah memberikan pandangan supaya wawasan petani menjadi lebih luas. Petani Adalah Orang yang Terpinggirkan (Marginal)
Kekuasaan petani untuk mengeluarkan pendapat belum diperhatikan. Petani adalahorang yang memiliki status sosial yang rendah, perekonomian yang lemah dan penguasaan tanah yang sangat sempit. Petani lemah inilah yang harus diberdayakan untuk membentuk suatuasosiasi petani. Contoh: Asosiasi petani tebu jawa tengah, Asosiasi petani tebu Jawa timur, dan lain-lain sehingga petani tebu tersebut menjadi kuat. Selain petani, penyuluh juga harusmembentuk asosiasi penyuluh sehingga kuat untuk mempejuangkan nasib petani. Tanpa.berkelompok petani dan penyuluh tidak ada artinya. Penyuluh pertanian akan dapat berjalan seperti yang diharapkan apabila terdapat iklim kerja yang egaliter (Soedijanto 2005:92)

E. Alih Fungsi Lahan Pertanian
Laju penyusutan lahan pertanian di Indonesia kian cepat. Penyebabnya adalah fragmentasi lahan atau penyusutan kepemilikan lahan pertanian sebagai dampak sistem bagi waris dan alih fungsi lahan. Ini tercermin dari peningkatan jumlah rumah tangga petani kecil alias gurem, dengan kepemilikan lahan rata-rata 0,34 hektar (Hermas 2008:1).
Bali sebagai daerah pariwisata paling menjadi contoh nyata dalam penyusutan lahan pertanian. Adanya fenomena alih fungsi lahan sawah ke non-pertanian dan musnahnya beberapa sistem subak di suatu daerah di Bali merupakan bagian sekaligus dampak dari modernisasi. Fenomena lain adalah mulai berkembangnya sistem pertanian beririgasi berkelanjutan berbasis sistem irigasi pompa air tanah. Menghadapi kedua fenomena yang bersifat substitusi tersebut, perlu pertimbangan bahwa apabila pertanian masih diyakini sebagai salah satu leading sector dalam perekonomian Bali dan sistem subak masih dipercaya sebagai model kelembagaannya,
maka selayaknya eksistensi subak dilestarikan dan bahkan diperkuat secara proporsional guna mendukung pembangunan sektor pertanian yang berkelanjutan (Budiasa 2005:147)
Dalam pembangunan pertanian berkelanjutan, lahan merupakan sumber daya pokok dalam usaha tani karena usaha yang dikembangkan bersifat land base agricultural. Sempitnya lahan pertanian ini dihadapkan pada peningkatan kebutuhan pangan. Badan Ketahanan Pangan Deptan memperkirakan, jumlah penduduk Indonesia tahun 2030 sebanyak 286 juta orang. Penduduk sebanyak itu mengonsumsi beras 39,8 juta ton. Dengan kata lain, dalam waktu 21 tahun lagi, Indonesia memerlukan tambahan produksi beras sekitar 5 juta ton atau perlu tambahan lahan padi 3,63 juta ha (Hermas 2008:1).

Sutawan (2005:6) menyatakan di Bali telah terjadi penciutan lahan sawah akibat alih fungsi. Kelestarian atau ketangguhan subak nampaknya mulai terancam akibat pesatnya perkembangan pariwisata Bali yang telah banyak membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Bali. Selain kurang berminatnya para pemuda pedesaan Bali untuk bekerja sebagai petani, sumber ancaman lainnya bagi eksistensi subak adalah pesatnya alih fungsi lahan sawah beririgasi ke arah penggunaan lain di luar pertanian.
Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat dan perkembangan jumlah hotel dan restoran akibat pesatnya laju pembangunan sektor pariwisata, menuntut terpenuhinya akan air yang terus meningkat baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Padahal, indeks penggunaan air (IPA) yaitu rasio persediaan air terhadap penggunaannya di Bali tahun 2000 sudah diperkirakan mencapai 1,13 yang berarti sudah tergolong “sangat kritis” (Sugandhi dalam Sutawan 2005:7). Karena air semakin langka maka ini berimplikasi pada semakin tajamnya persaingan yang bisa menjurus ke arah konflik kepentingan dalam pemanfaatan air antara berbagai pengguna, terutama antara sektor pertanian dan sector nonpertanian.
Selain itu, telah terjadi pencemaran air sungai dan air pada saluran irigasi. Di beberapa tempat telah muncul keluhan-keluahan dari masyarakat petani tentang adanya pencemaran air sungai dan air saluran irigasi akibat limbah dari industri garmen, sablon, hotel, dan restoran. Pemerhati lingkungan merasa cemas dan menyarankan pihak hotel untuk melakukan program penanggulangan limbah. Penelitian perlu dilakukan agar lebih jelas seberapa jauh tingkat pencemaran yang terjadi dan dari mana menanggung pembiayaan pencemaran tersebut, sebab rumah tangga juga sangat perpotensi dalam menghasilkan limbah. Selain itu, banjir dan tanah longsonr sering terjadi karena kerusakan daerah hulu sungai (catchment area) akibat semakin menipisnya hutan serta pembangunan rumah dan vila di lereng-lereng bukit (Sutawan 2005:7).
Selanjutnya Sutawan (2005:8) menyatakan bahwa pencemaran lingkungan akibat penggunaan pupuk kimia yang berlebihan oleh petani-petani di Bali juga telah terjadi di subak. Unsur-unsur kimia yang berlebihan selain bisa merusak tanaman, juga hanyut ke sungai dan mengalir ke laut, pantai sekitar persawahan. Revolusi hijau dengan demikian dapat dianggap kurang mendukung keberlanjutan pertanian karena tidak ramah lingkungan. Adanya berbagai dampak negatif dari Revolusi hijau telah mendorong ahli-ahli pertanian mengembangkan cara- cara baru yang lebih menjamin kelestarian lingkungan seperti penggunaan pupuk organik atau setidak-tidaknya mengurangi dosis penggunaan pupuk anorganik dan obat-obatan kimia(l o w external inputs sustainable agriculture).

F. Teknologi Pertanian
Tenologi yang tepatguna adalah teknologi yang bermakna bagi masyarakat penggunanya. Jadi Iptek yang bermakna adalah yang secara ekonomis menguntungkan dan dapat meningkatkan kesejahteraann, secara teknis dapat dikerjakan dan dimanfaatkan, dan secara sosial-psikologus dapat diterima serta sejalan dengan kebijakan pemerintah. Mungkin saja Iptek baru itu tidak/belum dirasakan dibutuhkan masyarakat dan mungkin pula Iptek tersebut benar-benar telah dibutuhkan dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Hal ini tergantung pada “keadaan” masyarakat sasaran (Asngari 2008:11).
Usahatani sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim, curah hujan, dan ketersediaan air irigasi dan sifat-sifat tanah. Oleh karena itu, teknologi usahatani yang sesuai untuk suatu lokasi belum tentu sesuai untuk lokasi lainnya. Dalam kaitan itu, untuk menetapkan anjuran teknologi untuk suatu lokasi, harus didasarkan leh hasil percobaan/penelitian verifikasi di lokasi yang bersangkutan (Tjitropranoto 2005:96).
Teknologi pertanian yang ada saat ini tidak selalu sesuai dengan yang dibutuhkan petani, tetapi didominasi oleh upaya program/proyek untuk pencapaian target produksi yang telah ditetapkan. Pada dasarnya, petani akan mencari teknologi, informasi atau materi penyuluhan kalau dirasakannya berguna untuk kegiatan usaha pertaniannya. Teknologi, informasi ataupun materi penyuluhan pertanian yang dibutuhkan petani adalah yang benar-benar diyakini petani akan menguntungkannya, terjangkau oleh kemampuannya, dan memiliki pasar yang dekat dengan usaha pertaniannya. Materi penyuluhan yang dibutuhkan petani harus didasarkan pada keempatan, kemauan, dan kemampuan petani untuk menrapkan/memanfaatkannya, bukan karena perhitungan yangsecara ilmiah akan menguntungkan (Tjitropranoto 2005:101).
Asngari (2008:11) menyebutkan bahwa pemanfaatan Iptek tergantung pada klien dan juga tergantung pada para penyuluh. Tentu akan lebih cepat prosesnya bilamana kedua belah pihak tersebut saling aktif dan dinamis mencari sampai menemukan teknologi tepat guna pertanian (TTP).
Meningkatnya harga sarana produksi terutama benih, pupuk, pestisida, pakan ternak dan ikan, menyebabkan adanya kecenderungan teknologi yang dikehendaki petani adalah teknologi yang tidak memerlukan modal besar, lebih kearah teknologi sederhana, walaupun produktivitasnya tidak begitu besar tetapi terjangkau oleh petani, baik dengan modal uang tunai maupun kredit. Teknologi pertanian yang memerlukan sarana produksi yang mahal akan diterapkan oleh pertani selama ada bantuan untuk menerapkannya, misalnya pemberian saranann produksi oleh proyek, tetapi begitu proyek meninggalkan petani, maka mereka akan kembali ke teknologi semula (Tjitropranoto 2005:101)..
Sumardjo (2005:162) menyatakan bahwa kajian Iptek yang disponsori oleh pemerintah di masa lalu yang cenderung sentralistis, cenderung bias padi dan kurang kondusif dengan perkembangan inovasi yang spesifik lokal. Hal seperti ini kurang efektif menjawab tantangan
kebutuhan inovasi bagi upaya peningkatan pendapatan petani.
Meskipun kebijakan pengembangan Balai Pengembangan Teknologi Pertanian (BPTP/LPTP) dinilai lebih kondusif bagi pengembangan inovasi yang berbasis pada Iptek unggul spesifik lokal beragam komoditi yang sesuai dengan kebutuhan petani, namun nampaknya lembaga ini kurang didukung olehtanga ahli baik dalam jumlah maupun kualitas, maupun pendanaan yang memadai untuk menjangkau wilayah kerjany. Dalam hal ini tentu saja masih diperlukan energi untuk mengatasi kelemahan tersebut, baik berupa komitmen pemerintah terhadap pengembangan SDM maupun terhadap pengembangan Iptek dan kelembagaan petani.

G. Penyuluhan Pertanian

Istilah penyuluhan pertama kali digagas oleh James Stuart dari Trinity College (Canbridge) pada tahun 1967-68, sehingga kemudian Stuart dikenal sebagai Bapak Penyuluhan
Berbagai istilah digunakan pada berbagai negara menggambarkan proses-proses belajar penyuluhan(e xtention ), seperti’ (1)voorichti ng (Bahasa Belanda) yang berarti memberi penerangan untuk menolong seseorang menemukan jalannya, (2)beratun g (Bahasa Inggris dan Jerman) yang mengandung makna sebagai seorang pakar memberikan petunjuk kepada seseorang tetapi seseorang tersebut yang berhak untuk menentukan pilihannya, (3)erzei ehung (mirip artinya dengan pendidikan di Amerika Serikat) yang menekankan tujuan penyuluhan untuk mengajar seseorang sehingga dapat memecahkan sendiri masalahnya, (3)fordering (Bahasa Austria) yang diartikan sebagai menggiring seseorang ke arah yang diinginkan Van Den Ban, A.W. dan H.S Hawkins (1999; 23-25)
Secara harfiah penyuluhan berasal dari katasuluh yang berarti obor ataupun alat untuk menerangi keadaan yang gelap. Dari asal perkataan tersebut dapat diartikan bahwa penyuluhan dimaksudkan untuk memberi penerangan ataupun penjelasan kepada mereka yang disukai, agar tidak lagi berada dalam kegelapan mengenai suatu masalah tertentu Van Den Ban, A.W. dan H.S Hawkins (1999; 25) mengartikan penyuluhan sebagai keterlibatan seseorang untuk melakukan
komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat
sehingga bisa membuat keputusan yang benar. Secara sistematis pengertian penyuluhan tersebut
adalah proses yang; (1) membantu petani menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan melakukan perkiraan ke depan, (2) membantu petani menyadarkan terhadap kemungkinan timbulnya masalah dari analisis tersebut, (3) Meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu masalah, serta membantu menyusun kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimikili petani, (4) membantu petani memperoleh pengetahuan yang khusus berkaitan dengan cara pemecahan masalah yang dihadapi serta akibat yang ditimbulkannya sehingga mereka mempunyai berbagai alternatif tindakan, (5) membantu petani memutuskan pilihan yang tepat yang menurut pendapat mereka sudah optimal, (6) meningkatkan motivasi petani untuk dapat menerapkan pilihannya, (7) membantu petani untuk mengevaluasi dan meningkatkan keterampilan mereka dalam membentuk pendapat dan mengambil keputusan.
Menurut Margono Slamet (2005:15-17), pengertian penyuluhan bukanlah sekedar penerapan tentang kebijakan penguasa, bukan hanya diseminasi teknologi, bukan program charity yang bersifat darurat, dan bukan program untuk mencapai tujuan yang tak merupakan kepentingan pokok kelompok sasaran. Tetapi adalah program pendidikan luar sekolah yang
bertujuan memberdayakan sasaran, meningkatkan kesejahteraaan sasaran secara mandiri dan membangun masyarakat madani; sistem yang berfungsi secara berkelanjutlan dan tidak bersifat adhoc, serta program yang menghasilkan perubahan perilaku dan tindakan sasaran yang
menguntungkan sasaran dan masyarakatnya.
Sehingga secara singkat penyuluhan dapat diartikan sebagai suatu pendidikan yang bersifat non formal yang bertujuan untuk membantu masyarakat/petani merubah perilakunya dalam hal pengetahuan, keterampilan dan sikap agar mereka dapat memecahkan masalah yang dihadapinya guna mencapai kehidupan yang lebih baik.
Pada kenyataannya kegiatan penyuluhan pertanian di Indonesia banyak mengalami masalah di dalam upaya menolong petani menolong dirinya sendiri. Diantaranya adalah: (1) Penyuluh melupakan tugas utama; (2) Kegiatan penyuluhan kurang terorganisasi; (3) Kegiatan penyuluhan tidak berjalan dengan baik; (4) Kelembagaan penyuluhan belum tertata dengan baik; (5) Penyimpangan tujuan organisasi penyuluhan; (6) Perbedaan nilai yang dianut petani dan penyuluh; (7) Pengetahuan penyuluh kurang memadai; (8) Penyuluh lebih banyak mengubah cara bertani dibandingkan dengan mengubah petani; (8) penyuluh kurang membantu petani mencapai tujuan; (9) Penyuluh kurang membuat wadah untuk membantu petani; (10) Penyuluh kurang mendidik petani; dan (11) Penyuluh kurang mengubah keadaan petani.
Tugas utama penyuluhan adalah membantu petani di dalam pengambilan keputusan dari berbagai alternatif pemecahan masalah. Tetapi masalah penyuluhan sekarang adalah kegiatan penyuluhan lebih banyak pada proses pelayanan bukan mendidik petani agar mampu mengambil keputusan sendiri (Soedijanto 2001:2).
Pada jaman BIMAS dikeluarkan SK Mendagri-Mentan tahun 1985 tentang pembentukan BPP (Balai Penyuluhan Pertanian) sehingga penyuluh pertanian berada di BPP. Kemudian tahun 1992 penyuluh berda di dinas-dinas sehingga BPP di bagi-bagi sesuai dengan dinas yang ada. Tahun 1996 dikeluarkan SK Mendagri-Mentan tentang pembentukan BIPP (Balai Informasi Penyuluhan Pertanian). Belum selesai BIPP dibentuk sudah digulirkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Kurangnya pengorganisasian kegiatan penyuluhan menyebabkan kurangnya keberhasilan penyuluhan pertanian (Soedijanto 2001:2).
Kegiatan penyuluhan akan berjalan dengan baik bila: pasar, teknologi, input, intensitas produksi (harga yang layak) dan transportasi desa mencapai keadaan maksimum. Bagaimana membangun pertanian yang baik bila 80 % masalah berada di luar petani. Kegiatan penyuluhan tidak efektif apabila kelima masalah diatas tidak diatasi. Selama ini kegiatan penyuluhan lebih dilaksanakan oleh lembaga penerangan yang bertanggung jawab untuk menjembatani kebijakan pemerintah agar sampai kepada rakyat. Seharusnya penyuluhan lebih mendidik petani agar dapat memecahkan masalahnya sendiri. Organisasi penyuluhan yang sekarang ini ingin menyampaikan kebijakan yang sebenarnya dilakukan oleh lembaga penerangan Van Den Ban, A.W. dan H.S Hawkins (1999:35-36).
Organisasi penyuluhan bertujuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi petani. Penyuluh harus memainkan peranan bagaimana petani terlibat dalam kegiatan penyuluhan. Tujuan kegiatan yang terjadi sekarang ini sangat jauh dari harapan.





Sikap-sikap yang berbeda dari berbagai organisasi penyuluhan
Kenyataan Harapan
• Bertujuan meningkatkan produktivitas
• Parsial
• Semata-mata penyuluhan
• Agen pemerintah
• Terpusat
• Bekerja dalam skala nasional
• Semata-mata alih pengetahuan
• Diarahkan
• Bertujuan memecahkan masalah
• Holistik
• Pelayanan terpadu
• Bantuan sendiri berdasarkan organisasi swasta
• Tidak terpusat, partisipatif
• Bekerja dalam wilayah kecil
• Juga menghasilkan pengetahuan
• Tidak diarahkan
Sumber: Van Den Ban, A.W. dan H.S Hawkins (1999)
Nilai-nilai yang dianut petani kemungkinan berbeda dari nilai-nilai agen penyuluhan yang “berbau perkotaan”, tetapi tidak beralasan jika beranggapan bahwa nilai-nilai agen penyuluhan dan atasannya lebih baik dibandingkan nilai-nilai petani dan keluarganya. Upaya pemberdayaan petani miskin melalui pengembangan kelembagaan, harus didasarkan kepada pemahaman yang utuh terhadap ragam dan sifat modal sosial yang mereka miliki, sehingga rancangan kelembagaan akan menjadi lebih tepat (BPPP DEPTAN 2006:2). Selama penyuluh belum bisa menyamakan nilai-nilai yang dianut ini maka akan timbul masalah.
Agen penyuluh hanya memiliki setengah dari pengetahuan yang diperlukan untuk mengambil keputusan, sedangkan petani dan keluarganya melengkapi kekurangannya. Mereka akan mengetahui tujuan-tujuan mereka, jumlah modal yang dimiliki, persyaratan tenaga kerja pertanian mereka selama bulan-bulan yang berbeda, hubungan dengan petani lain, kualitas lahan serta kesempatan-kesempatan menghasilkan uang diluar sektor pertanian. Agen penyuluhan mungkin memiliki sebagian dari pengetahuan tersebut, tetapi biasanya tidak sebanyak pengetahuan yang dimiliki oleh keluarga petani sendiri. Oleh sebab itu, Puspadi (2005:121) menyatakan bahwa penyuluh dituntut memiliki kompetensi sebagai berikut: (1) system social setempat; (2) perilaku petani; (3) analisis system; (4) analisis data; (5) merancang pendekatan penyuluhan; (6) perencanaan usaha pertanian; (7) mamajemen teknologi; (8) ekonomi rumah tangga; (9) mengembangkan teknologi local spesifik; (10) memahami caa petani belajar;m; (11) pengembangan kelompok dan organisasi; (12) perilaku pasar; (13) peta kognitif petani; (14) teknologi produksi; (15) teknologi pasca panen, (16) usahatani sebagai bisnis, (17) proses pengembangan pertanian; dan (18) berkepribadian sesuai dengan profesinya sebagai penyuluh.
Dewasa ini agen penyuluhan lebih mengarahkan langkahnya pada sistem pertanian yang berkelanjutan dan kurang memperhatikan input pertanian yang tinggi dibandingkan tahun-tahun yang lalu. Salah satu pendekatan pertanian berkelanjutan adalah input minimal (low input) Sistem pertanian memiliki kapasitas internal yang besar untuk melakukan regenerasi dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya internal (Drommond et. al2 0 0 8 :1 ). Pengetahuan khas setempat dari petani sangatlah penting untuk mengembangkan pertanian yang berkelanjutan karena cara ini harus disesuaikan dengan situasi setempat yang biasanya petani tahu lebih banyak dibandingkan peneliti atau agen penyuluhan
Kebanyakan agen penyuluhan petanian memperoleh pendidikan formal tentang cara-cara mengubah atau memperbaiki cara bertani. Mereka belajar tentang varietas tanaman, pupuk, makanan ternak, dan sebagainya, tetapi di dalam tugasnya diminta untuk “mengubah petani” yang kemudian dapat membuat keputusan untuk mengubah “usaha taninya”. Banyak agen penyuluh belum terlatih dalam proses mengubah sikap, yaitu dalam hal pendidikan orang dewasa dan komunikasi. Mereka diajar mengenai “apa yang harus dilakukan” kepada petani, tetapi tidak tentang “bagaimana” mengatakannya agar petani mampu menjadi manajer yang baik dalam
Petani dapat dididik dengan dua cara yang berbeda: 1) mengajari mereka bagaimana cara memecahkan masalah spesifik, atau 2) mengajari mereka proses pemecahan masalah. Cara kedua memerlukan banyak waktu dan upaya dari kedua pihak, tetapi untuk jangka panjang menghemat waktu dan menambah kemungkinan dikenalinya gejala hama dan penyakit secara tepat waktu dan segera dapat ditanggulangi. Cara demikianlah yang terbaik, tetapi perlu disadari bahwa seseorang yang diberi pendidikan sepotong-sepotong lebih berbahaya dari orang buta huruf. Petani wajib diberi pengertian tentang masalah mana yang dapat mereka pecahkan sendiri dan manakah yang tidak (Soedijanto 2005:89).
Petani di negara berkembang juga ingin memperbaiki cara bertani mereka, dan kewajiban agen penyuluhan adalah mendukung dan menciptakan proses demikian melalui belajar yang disebut “belajar mandiri” atau self-directed learning
Selama bertahun-tahun konservatisme petani dianggap sebagai penyebab kegagalan adopsi teknologi yang dikembangkan penelitian. Hal demikian ternyata tidak selalu benar, karena cara bertani yang tidak menguntungkanlah yang membuat mereka tidak menggunakan teknologi tersebut.